Selasa, 11 Desember 2012

JEMBATAN DELAPAN DEWA

Dahulu kota Xiangthan tidak semewah sekarang, Yuhu dikelilingi pengunungan tinggi.   Di sebelah barat Yuhu ada sebuah pengunungan yang bernama gunung panjang umur, kenapa dinamakan gunung panjang umur?

Karena diatas gunung tinggal seorang kakek marga Zheng yang sudah sangat tua.   Rambut dan jenggotnya semua sudah putih, tetapi badannya masih sangat sehat, tidak ada benar-benar mengetahui umur kakek ini, ada yang mengatakan dia sudah berumur lebih dari 140 tahun, ada yang mengatakan bahkan lebih tua dari itu.

Dia sendirian tinggal diatas gunung, mendirikan sebuah gubuk, setiap hari dia pergi mencari kayu bakar, berburu, bercocok tanam semuanya dapat dilakukannya, sayuran yang ditanamnya sangat subur.

Setiap dia pergi berburu pasti mendapat binatang buruan, sehingga persediaan pangannya tidak habis dimakan sendiri. Tetapi dia sendiri sangat hemat, sisa makanannya akan dibagi kepada fakir miskin.

Setiap ada yang datang kerumahnya meminta bantuannya, seperti tetangga, teman, walaupun kenal atau tidak, dia akan sebisa mungkin membantu mereka. Terkadang karena membantu orang lain, dia sendiri tidak ada makanan lagi, maka dia akan pergi kehutan mengambil sayuran dan buah-buah hutan untuk dimakan.

Pada suatu malam, ketika bulan purnama, dia sedang menganyam sepatu jerami. Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang, dijalan dia melihat ada delapan orang sedang menuju kearahnya, diantara mereka ada seorang wanita, orang yang berjalan paling depan adalah seorang kakek yang berjenggot putih, ditangannya memegang sebuah pancing, dia menyapa kakek Zheng, “Sobat tua, kami kebetulan lewat daerah ini, bolehkah kami masuk kerumahmu beristirahat sebentar melepaskan lelah?”

Kakek Zheng dengan gembira menjawab, “Dengan senang hati, tetapi gubuk saya terlalu kecil, saya takut tidak muat untuk kalian semua.”

Kakek jenggot putih menjawab, “Tidak masalah, kami berdesakan sedikit pasti muat.” Setelah berkata demikian delapan orang ini masuk kedalam rumah, sungguh heran gubuk kecil ini yang biasanya hanya ada tiga orang saja sudah kelihatan sangat sempit, tetapi ketika delapan orang ini masuk dan duduk didalam gubuk kelihatan masih lapang, kakek Zheng merasa heran.
Pada saat ini seseorang yang bajunya compang camping, wajahnya hitam, memegang tongkat karena kakinya pincang sedang berkata, “Sobat tua, kami sudah lapar, apakah ada makanan yang bisa engkau sediakan untuk kami?” Kakek Zheng segera berkata, ”Ada! Ada! kelihatannya kalian semua datang dari tempat yang jauh, sudah lapar dan capek, kebetulan hari ini ketika saya berburu mendapat seekor kelinci, akan saya hidangkan untuk kalian.”

Setelah berkata demikian kakek Zheng pergi ke sebuah lemari mengeluarkan seguci arak, dan sepiring daging kelinci yang sudah dimasak dengan harum, meletakkannya diatas meja kecil yang terbuat dari bambu.

Seorang pelajar yang tangannya memegang suling berkata, “Suasana malam ini adalah malam purnama yang sangat indah, kenapa kita tidak membawa makanan ini ke tepi danau dan menikmatinya disana?”  

Seseorang yang wajahnya brewok bertepuk tangan menyetujui saran itu, dan yang lain semua setuju, akhirnya mereka ada yang mengangkat guci arak, ada yang mengambil piring daging kelinci, ada yang mengangkat meja kecil menuju ketepi danau, masing-masing memilih sebuah batu granit lalu duduk diatasnya, mulai menyantapi makanan dan meminum arak.

Sepanjang malam kakek Zheng sibuk melayani mereka, sebentar menyeduh teh, sebentar naik ke atas gunung mencari buah-buahan hutan untuk mereka, keadaan tersebut berlaku sampai subuh, kemudian salah seorang dari mereka yang memakai baju dengan keadaan dada dan perut gendutnya terbuka berkata, “Sobat tua, engkau juga sudah capek, sekarang bagaimana kami dapat membalas budimu, apapun permintaanmu pasti akan kami kabulkan.”

Kakek Zheng sambil menggelengkan kepalanya berkata, “Saya tidak mempunyai permintaan, apapun saya tidak ingin?”

Orang brewok ini berkata lagi, “Gubukmu sangat kecil, apakah engkau tidak ingin sebuah istana yang besar?” Sambil tersenyum kakek Zheng menjawab, ”Bumi ini demikian luas, gubuk kecil ini sudah cukup untuk tempat saya berteduh.”

Seorang pendeta Tao yang membawa pedang bertanya lagi, “Sobat tua, kehidupan mewah apa saja yang ada didunia ini terserah engkau pilih.”

Kakek Zheng berkata” Saya memandang kemewahan dunia ini seperti sebuah tali, saya tidak ingin kaki tangan saya terikat oleh tali ini, sedangkan nyawa, setiap orang akan mengalami tua dan mati, ini semua adalah hal biasa yang tidak dapat dihindari.”

Mendengar perkataan kakek Zheng, wanita cantik ini berkata, “Wah! Kehidupan mewah dan panjang umur engkau juga tidak menginginkannya, apakah engkau ingin menjadi dewa!”

Kakek Zheng berkata, “Setiap hari saya hidup dengan gembira dan bahagia sudah seperti dewa, walaupun langit runtuh saya tidak peduli, sejak lama sudah seperti dewa ditengah kehidupan manusia ini.”

Setelah didesak oleh mereka semua, setelah berpikir sejenak kakek Zheng berkata, “kalian semua mendesak saya, baiklah saya akan mengajukan sebuah permintaan. Danau Yuhu sangat besar berjalan dari tepi danau timur ke barat memakan waktu setengah hari, sangat tidak praktis, jika kalian dapat membangun sebuah jembatan, maka akan sangat berguna untuk masyarakat ditempat ini.”

Orang yang berwajah brewok berkata, “Oh itu adalah hal yang gampang! Kami akan mengabulkan permintaanmu!”

Delapan orang ini keluar dari gubuk kakek Zheng, sedangkan kakek Zheng tidak mengikuti mereka keluar, dia sedang memasak air menyeduh teh untuk mereka.

Setelah air mendidih dan teh sudah siap diseduh, dia membawa teh tersebut keluar untuk mereka, dia melihat sebuah jembatan yang panjang diatas danau Yuhu, delapan orang tersebut sedang berjalan diatas jembatan menuju kearah lain, kakek Zheng mengejar dibelakang mereka sambil berteriak.

Tiba-tiba dia melihat ada delapan gumpalan awan. Delapan orang itu sambil melambaikan tangannya, naik keatas masing-masing gumpalan awan kemudian terbang melayang pergi.

Kakek Zheng kembali keatas jembatan dengan teliti dia memeriksa keadaan jembatan, jembatan ini terbuat dari delapan keping batu granit, keadaan sangat rapi, kuat dan jembatan ini sangat lebar.

Keesokan harinya, masyarakat didaerah ini melihat jembatan ini, mereka semua sangat gembira. Sesuai dengan penuturan kakek Zheng mereka semua menerka pasti semua ini adalah perbuatan delapan dewa langit yang turun kebumi membantu mereka. Akhirnya mereka sepakat menamakan jembatan ini menjadi jembatan delapan dewa.

Senin, 10 Desember 2012

KERANJANG

Ada seorang anak bernama Sun Yuan Jue. Kedua orangtuanya sangat memanjakannya. Tetapi orang tua Yuan Jue memiliki perilaku yang tidak baik dan tidak punya sopan santun terhadap kakeknya yang sudah tua. 

Walaupun Yuan Jue masih kecil, ia sudah tahu bagaimana seharusnya menghormati orang tua. Ia tidak suka melihat orangtuanya berlaku kurang sopan terhadap kakeknya. Karena itu, ia sudah bisa menasihati orang tuanya agar mengubah sikap mereka yang kurang baik dan kurang sopan terhadap orangtuanya sendiri.

Suatu hari, ayah dan ibunya berniat menbuang kakek yang sudah sakit-sakitan itu ke atas gunung. Dalam pikiran mereka, biar tidak direpotkan, maka lebih baik sang kakek diasingkan keatas gunung. Dengan demikian, orang yang sudah tua itu pelan-pelan akan menghadapi hari-hari terakhir hidupnya.

Ayah Yuan Jue lalu membawa sebuah keranjang pikul yang besar. Kakek yang sudah tua itu dimasukkan dalam keranjang lalu dipikul menuju puncak gunung.

Yuan Jue tidak terima melihat kakeknya di buang, ia lalu berlutut didepan ayahnya dan memohon agar jangan membuang kakeknya. ”kakek bisa mati dimakan binatang buas. Lagipula kakek bisa mati pelan-pelan karena sedih dan sakit hatin di buang oleh anaknya sendiri!”

Ayah dan ibunya pun menjawab, ”kakekmu sudah tua, lebih banyak merepotkan dari pada membantu. Orang kalau sudah tua akan seperti dia, sudah tidak berguna dan sering membuat kita susah. Karena itu, berdirilah, kamu tidak perlu memohon seperti ini demi kakekmu, karena kalau kakekmu tidak dibuang, kita di rumah semua bisa pusing dan repot!”

Setelah itu, ayahnya segera memikul kakek untuk pergi ke gunung dan Yuan Jue mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di puncak gunung, kakeknya di keluarkan dari keranjang dan di dudukan di bawah pohon di pinggir jurang. Kakek tua itu menangis dan Yuan Jue pun menangis merenungkan nasib malang kakeknya. Dalam hati ia terus mencari akal bagaimana membawa kakeknya pulang kembali ke rumah.

Ketika ia mengambil keranjang dan beranjak untuk segera pulang, ayahnya berteriak kepadanya, ”keranjang itu sudah tidak perlu lagi, tinggalkan saja disini. tidak usah repot membawanya pulang!”

Sambil menangis dan tidak kalah keras suaranya, Yuan Jue menjawab, ”keranjang ini masih bisa di gunakan, saya tunggu sampai ayah dan ibu tua seperti kakek, saya akan pakai keranjang ini untuk memikul dan membuang kalian di pinggir jurang di atas gunung!” Ayahnya terkejut dengan jawabannya.

Setelah berpikir sejenak, ayahnya memasukan kembali kakek kedalam keranjang dan membawanya pulang kerumah. Sejak saat itu ayah dan ibunya tidak pernah lagi berbuat kurang sopan terhadap kakeknya, mereka bahkan menunjukan hormat dan kasih kepada kakeknya.

Hormati orangtua sampai akhir hayat mereka. Jangan biarkan orangtua, bahkan jika sudah merepotkan sekalipun.
Sengsara pada masa tua mereka karena melahirkan dan membesarkan kita. Sikap kita terhadap orang tua akan ditiru oleh keturunan kita.