Aku tak akan pernah melupakan hari pertama kali aku melihat “impian
berjalan”. Namanya Susie Summers untuk. Senyumnya yang berkilauan di bawah
kedua matanya yang bak bintang kejora, sungguh mempesona dan membuat si kaum
pria merasa sangat istimewa.Kecantikannya luar biasa, namun kecantikan
batinnyalah yang selalu kuingat. Dia benar-benar mempedulikan orang lain dan
merupakan seorang pendengar yang sangat berbakat. Selera humornya dapat
mencerahkan seluruh hari, dan kata-katanya yang bijaksana selalu pas dengan apa
yang perlu di dengar. Dia bukan saja dikagumi,melainkan juga sungguh-sungguh
dihargai oleh pria maupun wanita.
Meskipun dia memiliki segalanya yang dapat disombongkan, tapi dia
sangatlah rendah hati. Tak usah dikatakan lagi, dia menjadi dambaan setiap
pria. Terutama aku. Aku pernah menemaninya masuk kelas, dan pada hari lainnya
aku pernah makan siang berdua saja dengannya. Rasanya seperti di langit
ketujuh. Waktu itu kupikir, “Kalau saja aku punya pacar seperti Susie
Summers, aku tak akan pernah melirik gadis lain.” Tapi, aku yakin bahwa gadis
sehebat dia tentulah sudah punya pacar yang jauh lebih baik dariku. Meskipun
aku Ketua OSIS, aku tahu aku tak mungkin menjadi pacarnya.
Jadi, saat wisuda, aku pun mengucapkan salam perpisahan kepada cinta
pertamaku.
Setahun kemudian, aku bertemu dengan sahabatnya di sebuah pertokoan, dan
kami makan siang bersama. Dengan tenggorokan tersumbat aku menanyakan keadaan
Susie.
“Yaaah, akhirnya dia bisa juga melupakanmu,” jawabnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Kamu benar-benar kejam padanya. Kamu biarkan dia memendam harapan,
menemaninya masuk kelas, dan membiarkannya mengira bahwa kamu tertarik padanya.
Kamu masih ingat waktu makan siang berdua dengannya? Dia menunggu teleponmu
sepanjang minggu. Dia begitu yakin kamu akan menelepon dan mengajaknya
berkencan.”
Aku begitu takut ditolak sehingga aku tak berani mengambil resiko untuk
memberitahukan perasaanku terhadapnya. Seandainya waktu itu aku mengajaknya
berkencan, dan ternyata dia menolak? Apa hal terburuk yang mungkin terjadi?
Paling-paling aku tak jadi berkencan dengannya. Tanpa mengajaknya pun aku tidak
berkencan dengannya! Yang lebih buruk lagi adalah bahwa sebenarnya waktu itu
aku bisa berkencan dengannya.
“Kita tak pernah kalah karena mencintai seseorang. Kita
selalu kalah karena tidak berterus terang.”
(Barbara De Angelis)