Sebuah pernikahan yang diimpikan oleh banyak orang telah
dimiliki oleh Siu Lan bersama suaminya Santoso. "Kehidupan pernikahan
saya biasa-biasa saja, harmonis seperti biasa. Tidak pernah terjadi keributan
besar, saya begitu menikmati kehidupan pernikahan yang saya jalani. Ketika ia
mulai menjadi salesman ke luar kota, hal itu tidak menjadi masalah dalam
keluarga kami," kisah Siu Lan
Namun ternyata sikap manis Santoso di depan isteri dan
anak-anaknya hanyalah sandiwara belaka. Saat Santoso sedang bertugas di luar
kota, perilaku liarnya mulai terlihat. Bagi Santoso, wanita dan seks
adalah candu dalam kehidupannya. Bahkan demi kepuasannya, Santoso memelihara
seorang wanita simpanan tanpa memperdulikan keluarganya. Selama 6 tahun Santoso
memelihara wanita yang sama. Dan hebatnya ia bisa bermain peran, di rumah ia
tetap kelihatan sayang kepada anak dan isterinya, tapi di luar rumah perilaku
Santoso sangat buas. Untuk menutupi dan menyembunyikan hubungan gelapnya,
Santoso menyusun sebuah siasat jahat. Dengan dalih perusahaanya mau membuka
cabang di Malang, Santoso mengajak isterinya untuk pindah ke Malang, tapi ia
menyarankan agar isterinya yang terlebih dahulu pindah dan ia akan menyusul
setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Tapi setelah beberapa bulan berjalan, Siu Lan tidak
melihat tanda-tanda suaminya akan ikut pindah bersamanya. Dan Santoso kembali
berdalih kalau perusahaannya tidak jadi membuka cabang di sana. Siu Lan yang
sudah terlanjur pindah pun tidak bisa kembali karena anak-anaknya sudah pindah
sekolah ke Malang. Kebusukan Santoso mulai tercium ketika seorang utusan
perusahaan tempat Santoso bekerja datang menemui Siu Lan. Saat itulah Siu Lan
baru mengetahui kalau suaminya sudah tidak bekerja di perusahaan itu sejak
empat bulan yang lalu. Tidak hanya sampai di situ, Siu Lan juga akhirnya tahu
akan perilaku suaminya selama ini. Dari orang tersebutlah Siu Lan tahu kalau
Santoso sudah melarikan uang perusahaan dan pergi dengan perempuan lain.
Tak mudah bagi Siu Lan untuk mempercayai kebenaran itu
karena Santoso yang dikenalnya selama ini sungguh seorang suami yang baik.
Betapa terkejutnya Siu Lan mendengar hal tersebut. Suami yang selama ini
dicintainya tega melukai hatinya. Perasaan kecewa dan sakit hati begitu
menguasai hati Siu Lan karena selama ini baginya suami yang dicintainya itu
adalah raja. Santoso sendiri benar-benar tidak memikirkan isteri dan
anak-anaknya lagi. Yang dilakukannya hanyalah bersenang-senang dengan wanita
simpanannya itu. Uang panas Santoso habis di meja judi. Kebangkrutan
Santoso memaksanya pergi ke Malang. Meskipun kesal, Siu Lan tetap menerima
Santoso dengan hati yang kecewa. Tapi penerimaan itu tidak melunakkan hati
Santoso, ia bahkan berubah menjadi kasar dan sering membentak-bentak isterinya.
Bagi Santoso sendiri, sepanjang ia masih bisa membiayai hidup keluarganya, maka
Siu Lan tidak memiliki hak untuk menuntut hal lain dari dirinya meskipun Siu
Lan adalah isterinya sendiri.
Dan semakin lama Santoso semakin jarang pulang sampai
pada akhirnya pindah ke tempat lain dan tinggal bersama wanita simpanannya
itu. "Semakin lama kebencian saya semakin mendalam. Waktu itu saya
juga sudah mulai sakit-sakitan. Saya seperti orang gila. Saya menangis sendiri,
karena saya melihat anak-anak. Saya tidak tahu harus bagaimanalagi, keluarga
saya jauh, saya tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Siu Lan dengan hati yang
pedih. Luka pengkhianatan itu semakin pedih terasa.Dunia seakan runtuh dan
menimpa Siu Lan. Inilah detik-detik di mana Siu Lan menyerahkan nyawanya kepada
maut. Ia sempat berniat untuk bunuh diri, bahkan mengajak keempat anaknya untuk
bunuh diri bersama. Karena Siu Lan berpikir ia tidak rela jika dirinya mati,
anak-anaknya akan menderita karena harus ikut papanya dengan perempuan itu.
Namun tangisan anak bungsu Siu Lan menyadarkannya dari khayalan
itu. "Anak bungsu saya waktu itu masih kecil dan dia menangis.
Lalu saya berpikir untuk apa berniat bunuh diri, padahal
mertua saya juga selalu memberikan support kepada saya agar saya tidak menyiksa
diri sendiri. Mertua saya mendorong saya untuk bisa merawat diri dan
menunjukkan kepada suami saya bahwa saya bisa lebih dari perempuan itu. Mertua
saya mengatakan, saya tidak boleh sakit, tidak boleh mati. Kalau sampai saya
sakit, maka suami saya dan perempuan itu akan tertawa," kisah Siu
Lan. Nasehat itu bisa menenangkan hati Siu Lan untuk sementara. Tapi hal
itu tidak bisa mengobati luka yang menganga di hatinya. Tanpa disadari, tubuh
Siu Lan mulai sakit-sakitan bahkan ia harus dirawat secara intensif di
sanatorium selama satu bulan karena ada flek di paru-parunya dan kondisinya
sangat lemah saat itu. Sungguh malang nasib Siu Lan.
Saat dokter mengijinkannya untuk pulang, sebuah fakta
tragis telah menantinya. Siu Lan ternyata menderita kelumpuhan da ia tidak
dapat lagi berdiri. Lengkap sudah penderitaan Siu Lan. Semua kemalangan harus
ia tanggung seorang diri. Bahkan sikap suaminya semakin membuat kehidupan Siu
Lan mendekati jurang kehancuran. Santoso tidak tahu menahu akan kondisi
isterinya saat itu.
Saat Siu Lan berjuang untuk bangkit dari kelumpuhannya,
tanpa ia sadari seorang ibu yang sering lewat di depan rumahnya ternyata
memperhatikan dirinya. Meskipun Siu Lan tidak mengenal wanita ini, namun ia
memperkenalkan dirinya kepada Siu Lan dengan tutur kata yang halus dan berlaku
layaknya seorang ibu kepada anaknya. Seperti menggantikan sosok orangtuanya
yang jauh, wanita ini menjadi teman cerita bagi Siu Lan. Siu Lan menceritakan
semua pergumulan hidupnya kepada wanita yang belakangan dikenalnya sebagai ibu
Agus, ibu gembala sebuah gereja. Siu Lan pun merasakan kelegaan di dalam
hatinya kala itu. Sampai akhirnya Ibu Agus menasehati Siu Lan untuk ikut
Tuhan dan berdoa setiap hari. Ibu Agus bahkan datang bersama dengan ibu-ibu
para pendoa syafaat khusus untuk mendoakan Siu Lan.
Tuhan menyatakan mukjizatnya kepada Siu Lan. Dalam waktu
tiga bulan, Siu Lan sudah bisa berjalan kembali. Namun kebahagiaan Siu Lan
hanya sementara. Hati Siu Lan kembali terbakar saat seorang tetangganya datang
menceritakan kesenangan yang selalu Santoso lakukan bersama dengan
selingkuhannya. Terpancing omongan tetangganya, Siu Lan pun membawa keempat
anaknya pergi ke tempat suami dan selingkuhannya tinggal. Maksud Siu Lan
menemui suaminya ialah meminta Santoso kembali pulang ke rumah. Setibanya
di sana, ketokan pintu tak jua membuka jarak antara Siu Lan dan suaminya. Pintu
itu tertutup dengan rapatnya. Anak sulung Siu Lan yang sudah menginjak SMP akhirnya
menggedor-gedor pintu itu sambil memanggil ayahnya.
Ketika pintu itu terbuka, Santoso beserta perempuan itu
ada di sana. Tapi perempuan itu marah besar akan kedatangan Siu Lan beserta
anak-anaknya. Dengan kasar ia menjambak rambut Siu Lan. Tidak cukup sampai di
situ, perempuan itu berlari ke dalam dan mengambil pisau. Ia mengancam akan
membunuh Siu Lan. Siu Lan tak bisa lari begitu saja dengan ancaman itu karena
keempat anaknya mengelilingi dirinya, menangis dalam kemarahan dan kekecewaan
yang mendalam karena tidak adanya pembelaan dari ayah mereka. Sungguh tragis,
bukannya menolong Siu Lan, Santoso malah membela wanita simpanannya.
Tidak tergambarkan lagi bagaimana hancurnya hati Siu Lan
saat itu. Namun kekecewaan itu bukan hanya dirasakan oleh Siu Lan seorang diri,
anak tertua Siu Lan pun sangat terpukul akan peristiwa hari itu. Anaknya mulai
menjadi anak pemberontak. Meskipun pamit ke sekolah, namun ia tidak lagi pulang
ke rumah. Anaknya mengatakan kalau ia tidak mau lagi tinggal di rumah. Mungkin
saja dia malu akan gunjingan tetangga di lingkungan perumahan itu. Siu Lan
pun akhirnya membawa anaknya kepada Pak Agus. Setelah dinasehati, Pak Agus
menyarankan agar anaknya tinggal di pastoran gereja.
Bertahun-tahun Siu Lan menangis dan memohon dalam doanya
sampai suatu malam saat Siu Lan sedang berdoa di kamarnya, tiba-tiba sebuah
cahaya menyinari wajah Siu Lan. "Malam itu saya berdoa, ‘Tuhan, kalau
memang suami saya itu masih suami saya, kembalikan dia kepada saya. Biasanya
kalau saya tidur kamar itu gelap, tapi saya tidak tahu darimana asalnya ada
sinar yang menyinari wajah saya. Mungkin itu memang suara Tuhan, ada suara yang
berkata, ‘Kamu jangan takut anak-Ku, Aku ada bersamamu'. Dari situ saya sadar
kalau Tuhan pasti tolong saya. Beberapa hari kemudian suami saya pulang,"
kisah Siu Lan dengan berurai air mata.
Atas saran seorang hamba Tuhan, Siu Lan mencoba berdamai
dengan sang suami. Ia pun memberanikan diri meminta suaminya agar mau kembali
hidup bersamanya. Siu Lan sujud di kaki suaminya dan meminta maaf, namun
bukannya memaafkan Santoso malah menendang Siu Lan. Bahkan melalui
perkataannya, ia selalu menyalahkan Siu Lan atas semua yang telah terjadi. Kata
cerai pun terlontar dan Santoso menyuruh Siu Lan untuk menikah lagi. Siu Lan
hanya bisa menangis dengan pedih melihat tanggapan suaminya saat
itu. "Saya bilang, ‘Tuhan, Tuhan yang menyatukan saya. Saya hanya
meminta agar dia kembali. Saya terus belajar untuk mengampuni, mengasihi suami
saya. Saya tidak lagi mengingat kejahatan suami saya yang berselingkuh,
membohongi saya, mengkhianati saya. Jadi saya belajar mengingat masa lalu yang
baik-baik saja mengenai suami saya," ujar Siu Lan.
Sampai akhirnya suatu saat Siu Lan memberanikan diri
mengajaknya ke sebuah ibadah. Di sanalah Santoso berkenalan dengan seorang yang
bernama Gideon. Oleh Gideon, Santoso diajak untuk mengikuti sebuah camp khusus
bagi para pria. Sesi demi sesi diikuti oleh Santoso. Sepulangnya dari
acara itu, dengan hati yang meluap-luap Santoso mengungkapkan penyesalannya
kepada sang isteri dan anak-anaknya. "Di saat suami saya meminta
maaf, saya menangis. Saya mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan begitu baik
memberikan kepada suami saya kesempatan kedua. Benar-benar hati saya penuh
sukacita," ujar Siu Lan.
Kembalinya Santoso di tengah-tengah keluarga telah
menghidupkan kembali impian Siu Lan akan kehidupan keluarga yang bahagia.
Santoso sendiri telah berubah menjadi suami yang lembut. Bagi Siu Lan dan
Santoso, kasih mula-mula yang mereka alami di dalam Kristus adalah kekuatan
abadi yang mampu mempersatukan keluarga mereka untuk
selamanya. "Hingga saat ini kami sekeluarga semakin saling mengasihi
antara suami, isteri dan anak-anak. Dan semua karena kasih Tuhan di dalam
keluarga saya begitu besar dan Tuhan yang saya sembah adalah Tuhan yang
ajaib," ujar Siu Lan
(Sumber : Siu Lan)