Rabu, 18 Januari 2012

MENGUBAH BESI MENJADI EMAS

Pernahkah mendengar istilah Alkemi? Alkemi dikenal sebagai sebuah ilmu yang mampu mengubah besi menjadi emas. Dalam banyak kisah, beberapa orang menganggapnya sebagai sebuah sihir belaka, tetapi yang lain percaya bahwa ilmu itu benar-benar ada. Dan, siapa yang tak tergiur untuk bisa menguasai ilmu alkemi? Hanya dengan kemampuan alkemi, ia bisa mengubah besi menjadi emas dan tentu menjadi kaya-raya.

Alkisah, di sebuah negara di Timur ada seorang Raja yang hendak mencari orang yang benar-benar mengerti tentang alkemi. Sudah banyak orang datang pada Raja, tetapi ketika diuji, mereka ternyata tidak mampu mengubah besi menjadi emas. Suatu ketika seorang menteri berkata pada Raja bahwa di sebuah desa terdapat seseorang yang hidup sederhana dan bersahaja. Orang-orang di sana mengatakan bahwa ia menguasai ilmu alkemi. Segera saja Raja mengirimkan utusan untuk memanggil orang itu. Sesampainya di istana, Raja mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu alkemi. Raja akan memberikan apa yang diminta oleh orang itu.

Tetapi apa jawab orang desa itu, “Tidak. Saya tidak mengetahui sedikit pun ilmu yang Baginda maksudkan.”
Raja berkata, “Setiap orang memberitahu aku bahwa engkau mengetahui ilmu itu.”
“Tidak, Baginda,” jawabnya bersikeras. “Baginda mendapatkan orang yang keliru.”
Raja mulai murka dan mengancam. “Dengarkan baik-baik!” kata Raja. “Bila kau tak mau mengajariku ilmu itu, aku akan memenjarakanmu seumur hidup.”
“Apa pun yang Baginda hendak lakukan, lakukanlah. Baginda mendapatkan orang yang keliru”
“Baiklah. Aku memberimu waktu enam minggu untuk memikirkannya. Dan, selama itu kau akan dipenjara. Jika pada akhir minggu ke enam kau masih berkeras hati, aku akan memenggal kepalamu.”

Akhirnya orang itu dimasukkan ke dalam penjara. Setiap pagi Raja datang ke penjara dan bertanya, “Apakah kau telah berubah pikiran? Maukah kau mengajariku alkemi? Kematianmu sudah dekat, berhati-hatilah. Ajari aku pengetahuan itu.”
Orang itu selalu menjawab, “Tidak Baginda. Carilah orang lain. Carilah orang lain yang memiliki apa yang Baginda inginkan, saya bukanlah orang yang Baginda cari.”

Setiap malam ada seorang pelayan yang melayani orang itu dalam penjara. Pelayan itu berkata bahwa Raja mengirimnya untuk melayani orang itu sebaik-baiknya. Pelayan itu menyapu lantai serta membersihkan ruangan penjara itu. Pelayan itu juga selalu mengantarkan makanan dan minuman untuk orang itu, memberikan simpati kepadanya, melakukan apa saja yang diminta oleh orang itu, dan bekerja apa saja selayaknya seorang pelayan.
Pelayan itu selalu menanyakan, “Apakah anda sakit? Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk anda? Apakah anda lelah? Bolehkah saya membersihkan tempat tidur anda? Maukah anda bila saya mengipasi anda hingga anda tertidur, udara di sini panas sekali.” Dan, segala sesuatu yang bisa pelayan itu lakukan, maka ia lakukan saat itu juga.

Hari terus belalu. Dan, kini tinggal satu hari lagi sebelum kepala orang itu dipenggal. Pagi hari Raja mengunjungi dan berkata, “Waktumu tinggal sehari.
Ini kesempatan bagimu untuk menyelamatkan nyawamu sendiri.”
Tetapi orang itu tetap saja berkata, “Tidak Baginda. Yang Baginda cari bukanlah hamba.”

Pada malam hari, sebagaimana biasa pelayan itu datang. Orang itu memanggil pelayan itu untuk duduk dekat dirinya kemudian diletakkan tangannya di bahu pelayan itu dan berkata, “Wahai pelayan yang malang. Engkau telah berlaku sunguh baik terhadap diriku. Kini aku akan membisikkan di telingamu sebuah kata tentang alkemi. Sebuah kata yang akan membuatmu mampu mengubah besi menjadi emas.”

Pelayan itu berkata, “Aku tak tahu apa yang kau maksudkan dengan alkemi. Saya hanya ingin melayani anda. Saya sungguh sedih bahwa besok anda akan dihukum mati. Itu sungguh mengoyak hatiku. Saya harap saya bisa memberikan jiwa saya untuk menyelamatkan anda. Seandainya saya bisa, sungguh saya sangat bersyukur.”
Sang alkemi menjawab, “Lebih baik aku mati daripada memberikan ilmu alkemi ini kepada orang yang tidak layak menerimanya. Ilmu yang baru saja aku berikan kepadamu dalam simpati, dalam penghargaan, dan dalam cinta, tak akan kuberikan kepada Raja yang akan mengambil nyawaku besok. Mengapa demikian? Karena engkau pantas menerimanya, sedangkan Raja itu tidak.”

Esok harinya, Raja memanggil sang alkemi dan memberikan peringatan terakhir.
“Ini adalah kesempatan terakhirmu. Kau harus mengajariku ilmu alkemi, bila tidak lehermu harus dipenggal.”
Sang alkemi menjawab, “Tidak Baginda, anda mendapatkan orang yang keliru.”
Raja pun, “Baiklah. Aku putuskan kau untuk bebas, karena kau telah memberikan alkemi itu padaku.”
Sang alkemi keheranan, “Kepadamu? Saya tidak memberikannya pada Baginda Raja. Saya telah memberikannya pada seorang pelayan.”
“Tahukah kau, bahwa orang yang melayanimu setiap malam adalah aku,” jawab sang Raja.


Selasa, 10 Januari 2012

TEMPAYAN RETAK

Seorang tukang air memiliki dua buah tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan satunya lagi tidak. Tempayan yang utuh selalu dapat membawa air penuh, walaupun melewati perjalanan yang panjang dari mata air ke rumah majikannya. Tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Hal ini terjadi setiap hari selama 2 tahun. Tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja sang tempayan utuh merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugas dengan sempurna. Di pihak lain, si tempayan retak merasa malu sekali akan ketidak sempurnaan nya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya ia dapat berikan.

Setelah 2 tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak berkata
kepada tukang air, “Aku sungguh malu kepada diriku sendiri, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya”
”mengapa kamu merasa malu?” tanya tukang air,?”
”Aku hanya mampu, selama 2 tahun ini, membawa setengah bagian air dari yang seharusnya kubawa. Adanya retakan pada diriku telah membuat air yang kubawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, telah membuat mu rugi.”

Tukang air merasa kasihan kepada si tempayan retak, dan dengan kasihnya, ia menjawab, ”Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kau memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.” Tuhan sanggup memakai kelemahan kita untuk maksud yang indah.

Benar, ketika mereka naik ke bukit, tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan itu membuatnya sedikit terhibur. Namun pada akhir perjalanan, ia kembali merasa sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor. Kembali tempayan retak itu meminta maaf kepada tukang air atas kegagalannya. Tukang air berkata kepada tempayan retak, “Apakah kamu tidak memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu, tapi tidak ada bunga di sepanjang sisi jalan tempayan yang tak retak. Itu karena aku menyadari cacatmu, maka aku memanfaatkannya. Aku menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama 2 tahun, aku dapat memetik bunga indah untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kau, majikan kita tidak dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”

Manusia ibarat tempayan retak, namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan itu untuk maksud tertentu. Dimata Tuhan, tak ada yang terbuang percuma, Jangan kwatir akan kekuranganmu, karena dapat menjadi sarana keindahan bagi Tuhan. Dalam kelemahan, kita menemukan kekuatan.

Kamis, 05 Januari 2012

MANGKUK EMAS NAGA ARJUNA

Pada jaman dahulu kala, di India hidup seorang pertapa suci yang bernama Naga Arjuna. Sang Pertapa adalah orang yang telah hidup terbebas dari segala keduniawian.Oleh karena itu, kemanapun dia pergi hanyalah mengenakan selendang yang dibalut ditubuhnya, yang melambangkan betapa leluasanya Beliau.

Namun ada satu hal yang sangat mencolok dari Naga Arjuna, kemanapun dia pergi, dia selalu membawa sebuah mangkuk emas. Rupanya, mangkuk emas itu adalah pemberian seorang raja yang sangat hormat kepada Naga Arjuna. Namun Naga Arjuna yang telah hidup suci, sama sekali tidak menjual mangkuk itu untuk kepentingan dirinya. Padahal, mangkuk emas itu mampu menghidupi dia seumur hidup kalau dia mau. Namun mangkuk tersebut hanya ia pakai untuk mengemis makanan dari penduduk saja. Inilah pribadi Naga Arjuna yang hidup tanpa keterikatan nafsu duniawi.

Pada suatu hari, terdapatlah seorang pencuri yang telah lama membuntuti Naga Arjuna. Pencuri itu bermaksud ingin mencuri mangkuk Naga Arjuna. Malam harinya, ketika Naga Arjuna tertidur di dalam sebuah rumah gubuk, pencuri itu mengendap masuk ingin mengambil mangkuk tersebut. Namun, sebelum dia sempat mengambilnya, Naga Arjuna telah terbangun dari tidurnya.

Betapa terkejutnya pencuri itu, ia berpikir pasti Naga Arjuna akan berteriak minta tolong. Sehingga, penduduk sekitar akan dating memukulnya. Tetapi jauh dari perkiraan, Naga Arjuna hanya menatap pencuri itu sesaat, lalu berkata, “Kenapa? Kamu ingin mangkuk ini?” Pencuri itu hanya terdiam.
“Kalau kamu mau, ambil saja.” Ucap Naga Arjuna sambil kembali melanjutkan tidurnya.

Bukan main herannya pencuri tersebut. Namun dia mengambil mangkuk itu dan pergi begitu saja.
Akan tetapi keesokan harinya, dia kembali lagi ke gubuk itu. Dia lalu berlutut di hadapan Naga Arjuna, dan berkata, “Guru, ajarkanlah aku bagaimana caranya engkau mampu melepaskan mangkuk emas itu dengan hati penuh kerelaan, seperti yang engkau lakukan semalam.” Sejak saat itulah, Sang Pencuri menjadi murid dari Naga Arjuna.

Terkadang, yang membuat manusia menderita adalah ketika harus melepaskan barang yang ia sayangi. Karena di hati manusia yang tamak, maka tidak ada kerelaan. Seandainya manusia mampu melepaskan barang yang ia sayangi, tentu di dunia ini tidak ada yang gila karena kehilangan kekayaannya, ataupun menderita ketika ditinggalkan orang yang dicintai.